Kilasjurnalis.com Makassar Polemik Pencabutan status tersangka kasus laka lantas yang dilakukan oleh pihak kepolisian Polrestabes Makassar terhadap Owner Pallubasa Makassar, kini kian menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Kasat Lantas Polrestabes Makassar, Mamat Rahmat, SE, M.Si yang dikonfirmasi kepada awak media mengatakan, jika penetapan tersangka terhadap Owner Pallubasa ini menurutnya sudah dilakukan sesuai SOP. Begitupula dengan keputusan mengambil kebijakan mencabut status tersangka yang pernah ditetapkan.
“Ada permohonan keluarga korban disaksikan Lurah, RT/RW melalui Pengacaranya agar tidak melanjutkan perkara tersebut,” ungkapnya, Rabu (16/10/24)
Rahmat juga mengatakan, jika kasus lakalantas tersebut sudah SP3 kan. Dimana sebelumnya juga ditanggal 7 pihak yang bersangkutan meminta penangguhan namun belum ada penetapan tersangka.
“Di tanggal 8 baru kami periksa dan saya sendiri yang memeriksa termasuk adek ipar korban yang terjepit. setelah ada SPDP dari Kejaksaan baru kami tetapkan tersangka,” bebernya.
Lebih jauh Rahmat mengatakan, pihak Polrestabes mencabut status tersangka menimbang rasa keadilan dan kemanusiaan.
Jadi lanjut Rahmat, jangan ada Isu-isu yang mengatakan pengambilan kebijakan mencabut status tersangka dari owner Pallubasa ini diduga masuk angin karena itu tidak benar, semua keputusan yang diambil sudah melalui proses panjang serta berkoordinasi dengan kejaksaan.
Disinggung soal yurisprudensi dengan kasus kejadian laka lantas Artis Ibukota Saiful Jamil yang divonis 5 bulan penjara dan 10 bulan masa percobaan atas kasus kecelakaan maut di Tol Cipularang pada 3 September 2011, Rahmat hanya menegaskan jika hukuman Saiful Jamil memang vonis 10 bulan tapi tidak dilaksanakan.
“Asas manfaat dan asas keadilan, ada permohonan keluarga korban, ada dari PH dan RT RW serta melihat trauma tersangka dan ada anak yang ditinggalkan,” bebernya lagi.
Jadi, dalihnya jika yang dilakukan tidak sesuai SOP dirinya akan diperiksa Paminal maka dari itu Rahmat mengklaim sampai hari ini tidak pernah diperiksa Paminal.
Menanggapi hal tersebut, Ruslan Rahman (Sekjen L-Kompleks) yang ditemui di salah satu warkop dijalan veteran, makassar mengatakan bahwa dia tidak mencoba untuk mengkritisi proses penyelidikan dan penyidikan hingga penetapan tersangka Owner rumah makan Pallubasa Serigala, namun hanya melihat dari kacamata rasa keadilan bagi masyarakat yang mana proses dikabulkannya permintaan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) oleh Polrestabes Makassar terkait kasus Kecelakaan Lalu Lintas (Laka Lantas) yang menimpa keluarga owner rumah makan Pallubasa Serigala.
Menurut Ruslan, berdasarkan UU Lalu Lintas Nomor 22 tahun 2009 Pasal 310 ayat (4) “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud ayat (3) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.” dan Pasal 359 KUHP “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun” tidak serta merta dapat digugurkan (diabaikan) dengan mengedepankan proses Restorative Justice (RJ).
Namun menurut Ruslan persetujuan Polrestabes Makassar terkait RJ dengan menerapkan Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dengan Persyaratan Khusus pada Perpol No. 8 Tahun 2021 pasal 10 hurup (b) “kecelakaan lalu lintas di jalan karena kelalaiannya yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda” sangat tidak tepat, karena frasa “kelalaiannya”, sementara pada hasil Penyelidikan atau penyidikan kecepatannya (mobil Toyota Land Cruiser) yang dikemudikan oleh tersangka AQ (Pemilik atau owner kuliner legendaris Pallubasa Serigala) adalah 127,3 kilometer per jam, yang mana ini mengindikasikan bahwa itu bukan perbuatan kelalaian tetapi merupakan perbuatan “SENGAJA” sehingga penerapan pada pasal 10 huruf (b) Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tidak tepat digunakan pada persetujuan RJ untuk kasus Laka Lantas tersebut.
Lanjut Ruslan mengatakan, pasal yang mesti digunakan pada kasus itu adalah Pasal 311 ayat 5 “(Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)” UU LLAJ disebabkan karena orang sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang.
Untuk itu Kembali Ruslan Meminta kepada Kapolrestabes Makassar (Kombes Mokhamad Ngajib) untuk meninjau ulang kasus yang diselesaikan secara Restorative Justice dan mennetapkan kembali status tersangka pada AQ lalu tetap melanjutkan proses hukum sesuai autran yang berlaku agar rasa keadilan di masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan slogan kepolisian “POLISI PRESISI”.
Untuk diketahui : Dasar batas kecepatan yang dimaksud ialah sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 79/2013”), batas kecepatan paling tinggi dan paling rendah ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 (seratus) kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan;
b. paling tinggi 80 (delapan puluh) kilometer per jam untuk jalan antarkota;
c. paling tinggi 50 (lima puluh) kilometer per jam untuk kawasan perkotaan; dan
d. paling tinggi 30 (tiga puluh) kilometer per jam untuk kawasan permukiman.
Sementara itu, Koordinator Divisi Hukum dan Pelaporan LSM PERAK Indonesia, Burhan Salewangang, SH saat dikonfirmasi mengatakan, pihak kepolisian terkesan dipaksakan mencabut status tersangka.
“Iya kan pihak Polrestabes akui kasus Saiful Jamil tahu dan akui vonisnya hanya hukuman percobaan kenapa tidak diterapkan proses hukum yang sama. Kan mereka klaim ujungnya lepas juga jadi asas keadilan apa yang diperlihatkan dari institusi Polri ini,” katanya, Kamis (17/10/24).
Burhan juga melihat adanya unsur dugaan kesengajaan dari Tersangka yang mengemudi dengan kecepatan tinggi.
“Hasil dari investigasi Kepolisian sendiri jika kecepatannya tinggi berarti sudah tau dong resikonya apalagi di atas tol layang seperti itu. Berarti ada dugaan kesengajaan membahayakan nyawa orang lain,” terangnya.
Ditanya soal rasa keadilan, kemanusiaan dan asas manfaat yang diterapkan kepolisian dalam kasus tersebut, Burhan enggan berspekulasi terlalu jauh tentang kinerja pihak Polrestabes Makassar.
“Tumben dalam BAP, Lidik dan Sidik pakai rasa keadilan, kemanusiaan dan asas manfaat. Sejatinya yang harusnya melakukan itu biarlah Hakim saat berproses di pengadilan. Tapi kami melihat ada tahapan untuk menuju ke proses pengadilan yang dihilangkan,” jelas Burhan.
Jadi menurut Burhan pihaknya merasa janggal terkesan ada yang dipaksakan dalam kasus ini.
Burhan juga menyampaikan jika setahunya kalau di Kejaksaan setiap permohonan RJ dari Kejari dan Cabjari harus melalui sidang ekspose perkara dihadapan Jam Pidum.
“Artinya persoalan RJ tidak semudah itu, jadi kami melihat ada dugaan kesengajaan RJ ini disetting termasuk penggunaan Pasal 10 dalam Perpol 8 tahun 2021 sebab disitu mengakibatkan kerugian bukan pengecualian mengakibatkan kematian. Jadi kami menduga pihak Polrestabes sengaja dan kurang tepat menerapkan pasal tersebut,” pungkas pria yang juga berprofesi sebagai Pengacara ini. (**)